Pages

Subscribe:

Labels

Senin, 04 Juni 2012

TUGAS BAB III (Ketahanan Nasional)

Perjuangan Terhadap Ancaman Disintegrasi Bangsa

A. Pemberontakan PKI Madiun


1. Biro Perjuangan sebagai TNI Sayap Kiri

Dalam pertemuan antara menteri pertahanan, pimpinan TKR, dan lascar-laskar pada tanggal 24 Mei 1946, disepakati bahwa Badan Pendidikan Tentara dialihkan dari Markas Besar TRI Kementerian Pertahanan. Nama badan pendidikan ini diubah menjadi Staf Pendidikan Politik dan Tentara (Pepolit) yang akan dipimpin oleh opsir-opsir politik. Sukono Djojopratignjo diangkat sebagai pimpinan Pepolit dengan pangkat letnan jenderal. Pada setiapdivisi diperbantukan 5 opsir politik yang berpangkat letnan colonel. Pepolit ternyata dimanfaatkan oleh Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin untuk kepentingan politiknya sehingga Pepolit tumbuh menjadi semacam komisaris politik seperti Angkatan Perang Uni Soviet yang berkedudukan sejajar dengan para komandan pasukan. Oleh karena itu, keberadaan Pepolit ditolak oleh para panglima divisi dan para komandan pasukan sehingga keberadaan Pepolit merosot di daerah-daerah.

2. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang dan Jalan Baru Musso

Setelah Kabinet Amir Syarifuddin jatuh, presiden menunjuk Wakil Presiden Moh. Hatta untuk membentuk cabinet baru. Moh. Hatta berupaya membentuk cabinet koalisi dengan mengikutsertakan semua partai politik dengan tujuan untuk menggalang persatuan nasional. Kepada kelompok sayap kiri (komunis), Moh. Hatta menawarkan 3 kursi tanpa portofolio (departemen). Akan tetapi, kelompok sayap kiri menuntut setidaknya 4 kursi termasuk jabatan Menteri Pertahanan. Permintaan ini tidak disetujui, sehingga Moh. Hatta membentuk kabinetnya tanpa sayap kiri. Kabinet Hatta memiliki program sebagai berikut.

a. Pelaksanaan Perundingan Renville dan selanjutnya mengadakan perundingan lanjutan dengan dasar-dasar yang telah dicapai.
b. Mempercepat terbentuknya Negara Indonesia Serikat (NIS).
c. Melaksanakan rasionalisasi di dalam negeri.
d. Pembangunan.

Untuk melanjutkan Perundingan Renville, Moh. Hatta menunjuk Mr. Moh. Roem sebagai ketua delegasi RI. Sebagai pendahuluan, Moh. Hatta mengadakan pembicaraan dengan Van Mook mengenai masalah plebisit dan penyerahan kekuasaan RI kepada pemerintahan sementara.

3. Pemberontakan dan Penumpasan

Pertentangan politik yang dimunculkan oleh golongan kiri di atas, meningkat menjadi insiden bersenjata di Solo. Pada mulanya insiden terjadi antara FDR/PKI dengan kelompok komunis pimpinan Tan Malaka yang tergabung dalam Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Selanjutnya, insiden terjadi antara FDR/PKI dengan pasukan TNI. Insiden tersebut bertujuan untuk menjadikan Surakarta menjadi daerah kacau (wild west), sedangkan daerah Madiun dijadikan basis gerilya.

Sebagai puncak agitasi PKI itu, pada tanggal 18 September 1948 di Madiun, tokoh-tokoh PKI memproklamasikan berdirinya Soviet Republik Indonesia, maka pecahlah pemberontakan PKI Madiun. Selanjutnya pemberontak mengangkat Kolonel Djokosuyono menjadi “Gubernur Militer” Madiun. Pihak pemberontak berhasil menguasai kota Madiun dan Radio Gelora Pemuda.

Dalam pidato radionya, Djokosuyono menyatakan bahwa bagian yang terpenting dari revolusi adalah membersihkan tentara Republik Indonesia dari golongan reaksioner dan colonial. Kemudian Musso juga menyerang pemerintah dengan menyatakan bahwa Soekarno-Hatta telah menjalankan politik kapitulasi terhadap Belanda dan Inggris serta hendak menjual tanah air kepada kaum kapitalis. Padahal Persetujuan Renville yang mereka kecam, merupakan hasil tokoh PKI sendiri, yaitu Amir Syarifuddin ketika menjabat sebagai perdana menteri.

B. Pemberontakan DI/TII

1. Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Selama masa pendudukan Jepang dan setelah proklamasi kemerdekaan, Sekarmadji Marijan Kartosuwiryo menjadi anggota Partay Masyumi. Bahkan ia kemudian terpilih menjadi Komisaris Jawa Barat merangkap sekretaris I partai tersebut. Gagasan mendirikan Negara Islam Indonesia sebenarnya telah dicanangkan oleh S.M.Kartosuwiryo sejak tahun 1942. Pada mulanya, di Malangbong Kartosuwiryo mendirikan Pesantren Sufah, yang digunakan untuk latihan kemiliteran bagi pemuda-pemuda Islam, khususnya Hizbullah dan Sabilillah, serta digunakan pula untuk menyebarkan propaganda pembentukan “Negara Islam”. Sebelumnya ia pernah dicalonkan sebagai menteri pertahanan, namun karena ia mempunyai tujuan tersendiri, maka jabatan itu ditinggalkan.

Pada tanggal 14 Agustus 1947 setelah Agresi Militer Belanda I, Kartosuwiryo menyatakan ‘perang suci’ melawan belanda. Gerakan Kartosuwiryo semakin tidak sejalan dengan Pemerintah RI ketika terjadi Perundingan Renville yang dianggap merugikan pihak Indonesia. Salah satu isi persetujuan itu menyatakan bahwa semua pasukan TNI didaerah kantong-kantong gerilya harus hijrah ke wilayah yang dikuasai oleh RI. Penolakannya terhadap perjanjian Renville diwujudkannya dengan sikap menolak melakukan hijrah ke wilayah RI. Bersama 4.000 orang pengikutnya ia memilih tetap tinggal di Jawa Barat.

Dalam konfrensi di Cisayong pada bulan Februari 1948 diputuskan untuk mengubah gerakan mereka dari gerakan kepartaian menjadi gerkan kenegaraan, dengan cara membekukan kegiatan Masyumi di Jawa Barat. Selanjutnya mereka membentuk Majelis Umat Islam yang mengangkat S. M. Kartosuwiryo sebagai imam dari Negara Islam Indonesia (NII). Kemudian dibentuk pula Tentara Islam Indonesia (TII). Pada tanggal 7 Agustus 1949 secara resmi Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) yang berlandaskan kanun azasi.

Pada tanggal 25 Januari 1949 terjadi kontak senjata pertama kali antara TNI dan DI/TII, ketika pasukan Divisi Siliwangi melakukan hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Bahkan kemudian terjadi perang segitiga antara TNI-DI/TII Tentara Belanda. Upaya damai dilakukan oleh Pemerintah RI melalui Moh. Natsir (pemimpin Masyumi) lewat sepucuk surat, namun tidak berhasil. Upaya kedua dilakukan dengan membentuk sebuah komite dipimpin oleh Moh. Natsir pada bulan September 1949. Akan tetapi, usaha itu pun juga gagal mengajak Kartosuwiryo untuk kembali ke pangkuan RI.

Munculnya gerakan DI/TII telah mengakibatkan penderitaan rakyat Jawa Barat. Sering kali rakyat mendapatkan teror dari mereka. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka juga merampok rakyat, terutama yang tinggal didaerah-daerah terpencil di lereng gunung.

2. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah

Munculnya DI/TII di Jawa Tengah berawal dari Majelis Islam yang dipimpin oleh Amir Fatah. Pada mulanya Amir Fatah menjabat sebagai komandan laskar Hizbullah di Front Tulangan Sidoarjo dan Mojokerto, Jawa Timur. Kemudian ia meninggalkan front dan menggabungkan diri dengan TNI di Tegal. Di Tegal, pasukan Hizbullah yang berdiri sejak bulan Januari 1946, menggabungkan diri dengan TNI Batalion 52 yang dipimpin oleh Mayor Moh. Bachrin. Amir Fatah berhasil mempengaruhi Mayor Bachrin, sehingga bersama pasukannya meninggalkan Wonosobo kembali ke daerah Brebes-Tegal. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Amir Fatah berada di front Brebes-Tegal bersama satuan-satuan TNI stempat. Tugas utamanya mengurus penggabungan laskar-laskar masuk ke dalam TNI. Setelah mendapatkan pengikut yang cukup banyak, pada tanggal 23 Agustus 1949 di Desa Pengarasan, Tegal, ia memproklamasikan berdirinya Darul Islam (DI). Pasukannya diberi nama Tentara Islam Indonesia (TII). Ia menyatakan bahwa gerakannya bergabung dengan Gerakan DI/TII Jawa Barat yang dipimpin oleh Kartosuwiryo.

Selain dari itu, di Kebumen juga terjadi gerakan yang bernama Angkatan Umat Islam yang dipimpin Mohammad Mahfud Abdurrahman (Kyai Somolangu). Gerakan ini juga bermaksud untuk membentuk Negara Islam Indonesia dan bergabung dengan Kartosuwiryo. Gerakan ini sebenarnya sudah dapat didesak oleh TNI. Namun, pada tahun 1952 kembali menjadi kuat setelah adanya pemberontakan Batalyon 423 dan 426 di Kudus dan Magelang yang menyatakan bergabung dengan mereka.

3. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Bagi pemerintah RI, gerakan yang dimulai pada tahun 1951 yang baru dapat diselesaikan pada tahun 1965 ini, banyak memakan waktu, tenaga, dan biaya. Hal itu disebabkan oleh kondisi medan yang sulit namun dapat dikuasai dengan baik oleh kaum pemberontak. Disamping itu, gerombolan ini pun berhasil memanfaatkan rasa kesukuan yang berkembang di kalangan rakyat.

Selama perang kemerdekaan, Kahar Muzakar pada mulanya berjuang di Sulawesi Selatan. Kemudian ia menyebrang ke Jawa dan berjuang di lingkungan Brigade 16 TNI. Ketika terjadi pertempuran di Surabaya, banyak pemuda Sulawesi yang tergabung dalam PRI Sulawesi, ikut bertempur untuk mempertahankan kota Surabaya dari gempuran tentara Inggris pada bulan November 1945.

Pada awal tahun 1946 di Jawa Barat dibentuk Batalion Kemajuan Indonesia dibawah pimpinan Kahar Muzakar. Pada bulan Maret 1946 utusan perjuangan Sulawesi, yaitu Andi Mattalata dan Saleh Lahade dating menemui Kahar Muzakar untuk melaporkan situasi di Sulawesi dan untuk mencari bantuan senjata. Setelah berdiskusi mereka sepakat untuk membentuk Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS).

4. Pemberontakan DI/TII di Aceh

Setelah Proklamsi Kemerdekaan RI, di Aceh terjadi pertentangan antara alim ulama yang tergabung dalam organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang dipimpin oleh Tengku Daud Beureuh dengan para kepala adat (Uleebalang). Pertentangan itu menyebabkan perang saudara antara kedua golongan tersebut yang berkobar sejak Desember 1945 sampai dengan Februari 1946. Untuk mengatasi kemelut itu pemerintah memberikan status Daerah Istimewa setingkat provinsi kepada Aceh dan mengangkat Tengku Daud Beureuh sebagai gubernur.

Setelah terbentuknya kembali NKRI pada bulan Agustus 1950, pemerintah mengadakan penyederhanaan administrasi pemerintahan sehingga beberapa daerah mengalami penurunan status. Salah satu diantaranya adalah Aceh, yang semula sebagai Daerah Istimewa turun menjadi daerah keresidenan dibawah Provinsi Sumatera Utara. Hal ini mengecewakan Tengku Daud Beureuh.

5. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan

Pada bulan Oktober 1950 terjadi pemberontakan Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT) yang dimpimpin oleh Ibnu Hajar. Ia adalah bekas letnan dua TNI. Ia bersama KRyT menyatakan diri sebagai bagian dari DI/TII Jawa Barat. Target serangan mereka adalah pos-pos TNI di wilayah tersebut.

Saat itu pemerintah memberi kesempatan untuk menghentikan pemberontakan secara baik-baik. Ibnu akhirnya menyerahkan diri. Namun, ia ternyata hanya berpura-pura. Setelah mendapatkan peralatan TNI, ia melarikan diri.

Akhirnya pemerintah melakukan Gerakan Operasi Militer (GOM) ke Kalimantan Selatan. Pada tahun 1959 Ibnu Hajar berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tanggal 22 Maret 1965.

C. Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)


Pada bulan Januari 1950 di Jawa Barat muncul gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh mantan Kapten Raymond Westerling dalam dinas tentara kerajaan Belanda (KNIL). Gerakan ini memanfaatkan kepercayaan rakyat akan datangnya Ratu Adil. Westerling memahami penderitaan rakyat Indonesia selama penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang sehingga mendambakan kemakmuran seperti yang terdapat dalam Ramalan Jayabaya. Menurut ramalan tersebut akan dating seorang pemimpin yang disebut Ratu Adil yang akan memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga rakyat menjadi makmur dan sejahtera. Namun, sebenarnya tujuan gerakan ini adalah sebagai berikut.

1. Tetap berdirinya Negara Pasundan,
2. APRA sebagai tentara Negara Pasundan.

Kedua hal tersebut tentunya bertentangan dengan hasil Konferensi Antar Indonesia yang menyatakan bahwa APRIS sebagai Angkatan Perang Nasional.

Pada tanggal 23 Januari 1950, APRA dengan kekuatan 800 personil, diantaranya 300 orang anggota KNIL dan KL yang bersenjata lengkap menyerbu kota Bandung dan secara ganas membunuh anggota TNI yang dijumpai. Gerakan ini berhasil menduduki markas Divisi Siliwangi setelah membunuh hamper seluruh anggota regu jaga yang hanya 15 orang termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan mereka berjumlah sekitar 150 orang. Hanya tiga orang yang berhasil lolos dari pengepungan itu.

Banyak penduduk yang menjadi korban, termasuk 79 orang anggota TNI yang gugur. Pemerintah RIS segera mengirimkan pasukan bantuan ke Bandung. Sementara itu, di Jakarta juga segera diadakan perundingan antara perdana menteri RIS dengan komisaris tinggi Belanda. Di Bandung kepala staf Divisi Siliwangi Letnan Kolonel Eri Sudewo menemui Panglima Divisi C tentara Belanda, Mayor Jenderal Engels untuk membicarakan masalah tersebut. Hasilnya, komandan tentara Belanda di Bandung Mayor Jenderal Engels mendesak agar APRA segera meninggalkan kota Bandung. Setelah meninggalkan Bandung, gerombolan APRA menyebar ke berbagai tempat dan terus dikejar oleh tentara APRIS. Dengan bantuan penduduk gerombolan tersebut berhasil dilumpuhkan.

Gerakan APRA juga diarahkan ke Jakarta. Dalam hal ini Westerling bekerja sama dengan Sultan Hamid II, yang menjadi menteri negara tanpa portofolio dalam kabinet RIS. Rencananya gerakan ini akan menyerang gedung tempat berlangsungnya siding kabinet. Mereka merencanakan untuk membunuh Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. Ali Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang. Berkat kesigapan dari APRIS usaha APRA di Jakarta berhasil digagalkan. Pada tanggal 22 Februari 1950 Westerling berhasil melarikan diri ke luar negeri dengan pesawat Catalina, sedangkan Sultan Hamid II berhasil ditangkap pada tanggal 4 April 1950.

D. Pemberontakan Andi Azis

Rongrongan lainnya terhadap Pemerintahan RIS dating dari Kapten Andi Azis di Makassar, seorang mantan perwira KNIL yang baru saja diterima sebagai anggota APRIS. Pada tanggal 30 Maret 1950, ia bersama-sama dengan pasukan KNIL dibawah komandonya menggabungkan diri ke dalam APRIS di hadapan Letnan Kolonel Ahmad Junus Mokoginta, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur.

Pemberontakan ini dilatarbelakangi oleh adanya kekacauan di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Hal ini disebabkan seringnya terjadi demonstrasi kelompok masyarakat yang antifederal untuk mendesak NIT segera menggabungkan dengan RI. Sebaliknya, golongan yang mendukung negara federal juga melakukan demostrasi, sehingga keadaan menjadi tegang. Untuk menjaga keamanan pada tanggal 5 April 1950 pemerintah mengirim satu batalion TNI yang dipimpin oleh Mayor H.V.W orang. Kedatangan pasukan dari Jawa itu mengancam kedudukan kelompok masyarakat pro federal. Selanjutnya, mereka bergabung dan membentuk “Pasukan Bebas” di bawah pimpinan Kapten Andi Azis. Ia menganggap masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.

Pada hari sekitar pukul 05.00 tanggal 5 April 1950, Kapten Andi Azis bersama pasukannya menyerang Markas TNI di Makassar. Pertempuran pun terjadi. Namun, karena pasukan APRIS jumlahnya lebih sedikit daripada jumlah pasukan penyerbu, maka dalam waktu singkat kota Makassar berhasil dikuasai oleh gerombolan penyerbu. Objek-objek vital seperti lapangan terbang, kantor telekomunikasi, dan pos-pos Polisi Militer berhasil mereka kuasai. Beberapa orang prajurit TNI menjadi korban, bahkan beberapa perwira termasuk Letnan Kolonel Ahmad Yunus Mokoginta berhasil ditawan.

Pada tanggal 5 April 1950 itu pula, Ir. P.D. Diapari mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri NIT karena tidak menyetujui tindakan Andi Azis. Pemerintahan kemudian dipegang oleh cabinet baru yang pro-RI di bawah pimpinan Ir. Putuhena. Selanjutnya pada tanggal 21 April 1950, Wali Negara NIT, Sukawati mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintah pusat bertindak tegas dalam menghadapi Pemberontakan Andi Azis ini. Pada tanggal 8 April 1950, pemerintah mengeluarkan instruksi bahwa dalam waktu 4 x 24 jam Andi Azis harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kepada pasukan yang terlibat pemberontakan diperintahkan untuk menyerahkan dan semua tawanan dilepaskan. Pada saat yang bersamaan dikirimkan pasukan untuk melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kolonel A.E.Kawilarang. Pada tanggal 15 April 1950 Andi Azis telah berangkat ke Jakarta setelah didesak oleh Presiden NIT Sukawati. Akan tetapi, Andi Azis terlambat melapor ke Jakarta sehingga ia ditangkap dan diadili, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Mayor H.V. Worang terus melakukan pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 21 April 1950 pasukan ini berhasil menduduki Makassar tanpa perlawanan berarti dari pasukan pemberontak.

E. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)

Cobaan terakhir yang dihadapi oleh Pemerintah RIS dan berlanjut sampai dengan Pemerintahan RI adalah sebuah gerakan “separatis” yang tidak hanya bertujuan untuk memisahkan diri dari NIT melainkan juga bertujuan membentuk negara sendiri terpisah dari RIS. Pemberontakan ini dikenal sebagai pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipimpin oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil, mantan Jaksa Agung NIT. Sebenarnya Soumokil sudah terlibat dalam Pemberontakan Andi Azis. Namun, ia mampu melarikan diri ke Maluku. Soumukil juga berhasil memindahkan pasukan KNIL dan Pasukan Baret Hijau dari Makassar ke Ambon.

Baik pemberontakan Westerling, Andi Azis maupun pemberontakan Soumokil memiliki kesamaa, yaitu ketidakpuasan mereka terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemberontakan-pemberontakan itu menggunakan unsur KNIL yang merasa status mereka tidak pasti setelah KMB. Keberhasilan APRIS menguasai keadaan pada saat itu semakin memperbesar semangat golongan pemuda dan kaum republiken untuk kembali ke NKRI. Namun, kondisi tersebut mengakibatkan tindakan-tindakan terror dan intimidasi terhadap golongan republiken yang menghendaki bergabung dengan NKRI, telah tampak sejak bulan Februari 1950. Pelaksanaan gerakan terror ini selain mendapat bantuan dari anggota polisi juga mendapatkan bantuan dari anggota KNIL yang merupakan bagian dari Korp Speciale Troepen yang dibentuk oleh Kapten Raymond Westerling di Batujajar dekat Bandung. Tindakan terror tersebut bahkan sampai pada pembunuhan. Salah satu korbannya adalah Ketua Persatuan Pemuda Indonesia Maluku.

Benih separatis ini pun muncul dari para birokrat pemerintah daerah. Pada tanggal 4 April 1950 di Ambon Ir. Manusama mengundang para rajapati (penguasa desa) untuk rapat di kantornya. Kepada para rajapati itu Ir. Manusama mengutarakan bahwa penggabungan wilayah Ambon ke NKRI mengandung bahaya. Selanjutnya, mereka menyetujui diadakannya rapat umum di kota Ambon. Rapat umum itu dilaksanakan pada tanggal 18 April 1950, untuk memperingatkan seluruh rakyat Ambon akan bahaya penggabungan wilayah Ambon ke NKRI.

Pada tanggal 20 April 1950, Pupella dari Pemuda Indonesia Maluku (PIM) mengajukan mosi tidak percaya dalam parlemen NIT. Mosi itu diterima dengan baik pada tanggal 25 April 1950, sehingga cabinet NIT meletakkan jabatannya. Sebagai perdana menteri berikutnya dipilih Ir. Putuhena dengan programnya pembubaran NIT dan menggabungkannya ke dalam wilayah NKRI.

F. Pemberontakan PPRI dan Permesta

Kabinet Ali Sastroamijoyo II harus menghadapi kesulitan karena adanya pergolakan di daerah-daerah. Hal itu disebabkan oleh adanya ketidakpuasan beberapa daerah di Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan dari pemerintah pusat. Ketidakpuasan ini didukung oleh beberapa panglima militer. Selanjutnya, mereka membentuk dewan-dewan militer daerah, diantaranya sebagai berikut.

1. Dewan banteng di Sumatra barat dipimpin oleh Kolonel Achmad Husein, Komandan Resimen infanteri 4 pada tanggal 20 Desember 1956,
2. Dewan Gajah di Medan dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I (TTI) pada tanggal 22 Desember 1956,
3. Dewan Garuda di Sumatra Selatan dipimpin oleh Letkol Barlian.
4. Dewan Manguni di Manado dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual, pada tanggal 18 Februari 1957.

Pembentukan Dewan Banteng dilaksanakan setelah berlangsungnya reuni ex-Divisi Banteng di kota Padang yang berlangsung dari tanggal 20 sampai 25 November 1956. Dalam rapat itu juga diputuskan bahwa usaha pembangunan daerah akan dilaksanakan dengan cara menggali otonomi seluas-luasnya dan dihapuskannya sistem sentralisasi. Pertemuan juga menyarankan diadakan penelitian mengenai penempatan pejabat-pejabat daerah, sehingga dapat dipilih tenaga-tenaga yang produktif bagi daerah. Dalam bidang pertahanan diusulkan agar dibentuk Komando Pertahanan Daerah. Selain itu, juga diusulkan agar ex-Divisi Banteng dijadikan suatu korp dalam Angkatan Darat.

Hasil pertemuan tersebut selanjutnya dilaporkan ke Jakarta oleh suatu delegasi yang terdiri atas Kolonel Dahlan Djambek, A. Halim, Dahlan Ibrahim, Sidi Bakaruddin, dan Ali Lubis. Pada tanggal 28 November 1956, delegasi ini berhasil menemui Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo. Selanjutnya, delegasi juga berhasil menemui Drs.Moh. Hatta dan Mr. A. G. Pringgodigdo.

G. Pemberontakan G-30-S/PKI 1965

1. PKI Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin

Alam demokrasi liberal yang berlangsung di Indonesia pada kurun waktu 1950-1959 memberikan kesempatan kepada PKI untuk mengadakan rehabilitasi, walaupun sebelumnya partai komusi itu telah melakukan pemberontakan. Sepulang dari pelariannya di Moskow sejak akhir pemberontakan PKI Madiun, sesepuh PKI D.N. Aidit kembali ke Indonesia dengan konsep baru yang dikenal dengan “Jalan Demokrasi Rakyat Bagi Indonesia”.

Setelah memperoleh kesempatan merehabilitas PKI dalam alam demokrasi liberal, langkah PKI selanjutnya adalah berusaha memperoleh kesempatan duduk dalam pemerintahan melalui aliansi dengan kekuatan-kekuatan politik yang penting. Ketika Kabinet Sukiman jatuh pada tanggal 23 Februari 1952 sebagai akibat persetujuan Mutual Security Act dengan Amerika yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Mr. Achmad Subarjo (Majelis Syura Muslimin Indonesia/ Masyumi), Comite Cental (CC) PKI mengeluarkan pernyataan politik yang pada hakikatnya menawarkan kepada PNI untuk membentuk kabinet tanpa Masyumi. Kenyataannya, orang-orang dari Masyumi tetap diikutsertakan duduk dalam kabinet baru yang dipimpin oleh Wilopo dari PNI. Sekalipun kecewa, PKI tetap memberikan dukungan komposisi cabinet baru itu dengan syarat partai-partai politik harus menghapuskan kecurigaan dan sikap anti terhadap PKI beserta organisasi-organisasi massanya. Upaya PKI berhasil dan sejumlah pimpinan PNI mulai berkolaborasi dengan PKI. Salah satu puncak kerja sama itu adalah usaha menjatuhkan Kabinet Wilopo, meskipun cabinet itu dipimpin oleh tokoh PNI sendiri. Penyebab jatuhnya Kabinet Wilopo adalah Peristiwa Tanjung Morawa di Sumatra Utara, yaitu insiden antara polisi dan penyerobot tanah perkebunan milik negara yang didukung oleh PKI. Peristiwa ini merukap kesempatan bagi PNI dan PKI untuk merongrong Gubernur Sumatra Utara Abdul Hakim dan Menteri Dalam Negeri Mr. Moh. Roem yang keduanya berasal dari Masyumi.

2. Aksi-Aksi PKI sebelum Pemberontakan G-30-S/PKI

Setelah penyusupan kader-kader PKI kedalam tubuh aparatur negara termasuk ABRI, organisasi politik, dan organisasi kemasyarakatan dinilai berhasil, maka PKI mulai melaksanakan kegiatan yang disebutnya sebagai tahap ofensif revolusioner. Kegiatan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut.

a. Sabotase
b. Aksi Massa dan Aksi Sepihak
c. Teror
d. Perusakan
e. Agitasi dan Propaganda
f. Isu

3. Kronologi Pemberontakan G-30-S/PKI

a. Pemberontakan G-30-S/PKI

Isu “Dewan Jenderal” akan mengadakan perebutan kekuasaan dari Presiden Soekarno semakin menguat. PKI menganggap perlu ada gerakan militer untuk mendahului rencana “Dewan Jenderal” tersebut. Dalam situasi sakitnya Presiden Soekarno, D. N. Aidit melakukan evaluasi. Menurutnya, pertentangan fisik tidak akan dapat dicegah apabila kepemimpinan Presiden Soekarno tidak ada lagi atau apabila kepemimpinan itu menjadi tidak efektif. Dalam situasi seperti itu, TNI AD-lah yang mempunyai kemampuan untuk menggulung PKI. Sebelum hal itu terjadi, PKI harus melaksanakan langkah-langkah agar TNI AD dapat dilumpuhkannya. Langkah-langkah yang ditempuh PKI adalah sebagai berikut.

1. Persiapan

Pelatihan Kemiliteran OKI pada bulan Juli-September 1965 berlangsung di Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta. Mereka yang dilatih adalah para kader dan ormas PKI seperti Serikat Buruh Angkatan Udara, Barisan Tani Indonesia, Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, Pemuda rakyat, Universitas Republika, Serikat Buruh Kereta Api, SB Postel, SOBSI, Partindo, Buruh/Tani nonpartai, dan mereka yang bersimpati kepada PKI. Mereka yang berasl dari berbagai daerah tidak diasramakan, tetapi tinggal di kemah-kemah dan di rumah-rumah rakyat di sekitar tempat pelatihan itu.

2. Aksi

Setelah langkah persiapan dinilai cukup, PKI mulai bergerak sesuai tanggal yang diputuskan. Pada dinihari 1 Okotober 1965 PKI melakukan aksi penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap “Dewan jenderal”. Dalam penculikan itu, A.H. Nasution selamat, namun putrinya Ade Irma Suryani dan ajudannya yang bernama Piere Tendean menjadi korban. Para korban penculikan yang masih hidup maupun yang telah meninggal dibawa ke Lubang Buaya. Korban yang masih hidup adalah Piere Tendean (ajudan A.H. Nasution), Soeprapto, S.Parman, dan Sutojo S. sedangkan korban yang sudah dalam keadaan meninggal adalah A. Yani, D.I. Pandjaitan, dan Haryono M. T. Keempat korban yang masih hidup mendapat siksaan dan akhirnya meninggal. Selanjutnya, para sukwan PKI melemparkan seluruh korban kedalam sumur.

b. Penumpasan Pemberontakan G-30-S/PKI

Setelah memperoleh gambaran jelas dan keyakinan bahwa Gerakan 30 September 1965 adalah gerakan PKI, Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto segera menyusun rencana untuk menumpas gerakan Pengkhianatan tersebut. Pangkostrad segera mengkonsolidasikan dan menggerakkan personil Markas Kostrad dan satuan-satuan lain. Selain itu, juga dilakukan usaha untuk menarik dan menyadarkan kesatuan-kesatuan yang telah dipengaruhi dan digunakan oleh Gerakan 30 September. Langkah koordinasi dan konsolidasi berhasil.

4. Dampak Sosial-Politik Pemberontakan G-30-S/PKI dan Peralihan Kekuasaan

Penyelesaian aspek politik terhadap para pelaku G-30-S/PKI sebagaimana diputuskan dalam siding Kabinet Dwikoran 6 Oktober 1965, belum terlihat adanya tanda-tanda dilaksanakan. Berbagai aksi digelar untuk menuntut pemerintah agar segera menyelesaikan masalah tersebut dengan seadil-adilnya. Aksi dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemudi mahasiswa dan pelajar seperti KAPPI, KAMI, KAPI. Muncul pula aksiyang dilakukan oleh KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia), KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia). Pada tanggal 26 Oktober 1965, kesatuan aksi itu membulatkan barisan mereka dalam satu front yaitu Front Pancasila.

Sumber : Yudhistira

Mohon maaf apabila banyak kesalahan dalam tulisan tersebut, terimakasih.

2 komentar: