Pages

Subscribe:

Labels

Jumat, 08 Juni 2012

TUGAS BAB IV (Politik dan Strategi Nasional)

Perkembangan Politik Indonesia (1945-1950)

A. Keadaan Politik

Pemerintah RI yang baru terbentuk dihadapkan pada tantangan dengan kedatanagan tentara Sekutu yang dibonceng Belanda. Belanda yang ingin kembali ke Indonesia berhadapan dengan bangsa Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya. Oleh karena itu, terjadilah konflik Indonesia-Belanda dan berbagai upaya diplomasi untuk menuju penyelesaian akhir dan konflik tersebut.

1. Kedatangan Sekutu dan NICA

Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 14 Agusutus 1945, Sekutu menugaskan Jepang untuk mempertahankan keadaan seperti adanya (status quo) sampai dengan kedatangan pasukan Sekutu ke Indonesia. Di lain pihak, bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya dan sedang sibuk melakukan upaya-upaya perebutan kedaulatan dari tangan Jepang. Selain itu, rakyat juga berusaha untuk memperoleh senjata dari tangan Jepang. Karena pihak Jepang enggan menyerahkan senjatanya, maka terjadilah pertempuran-pertempuran dahsyat di berbagai daerah. Proses perebutan kekuasaaan ini berlangsung dari bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober.

Setelah berhasil menang dalam Perang Dunia II, pasukan Sekutu yang mendapat tugas masuk ke Indonesia adalah Tentara Kerajaan Inggris. Pasukan tersebut dibagi dua, yaitu:

a. SEAC (South East Asia Command) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mounbatten untuk wilayah Indonesia bagian Barat,
b. SWPC (South West Pasific Command) untuk wilayah Indonesia bagian Timur.

Dalam melaksanakan tugasnya di Indonesia bagian Barat, Mountbatten membentuk AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Philip Christison. Adapun tugas AFNEI di Indonesia adalah sebagai berikut.

a. Menerima penyerahan dari tangan Jepang,
b. Membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu,
c. Melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan,
d. Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintahan sipil,
e. Menghimpun keterangan tentang penjahat perang dan menuntut mereka di depan pengadilan.

Kedatangan AFNEI didahului oelh beberapa kelompok penghubung, kelompok pertama tiba di Jakarta pada tanggal 8 September 1945. Kelompok tersebut dipimpin oleh Mayor Greenhalg yang baru mendarat dengan terjun paying di Lapangan Udara Kemayoran pada tanggal 14 September 1945. Pada tanggal 29 September 1945 Kapal Penjelajah Cumberland yang membawa Laksamana Patterson berlabuh di Tanjung Priok dan disusul oleh fregat Belanda Tromp.

2. Pertempuran Surabaya

Perebutan kekuasaan dan senjata dari tangan Jepang yang dimulai sejak tanggal 2 September 1945 di Surabaya telah membangkitkan semangat pergolakan yang revolusioner. Para pemuda siap menghadapi setiap ancaman terhadap kedaulatan Ri dengan senjata yang dimiliki.

Pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya. Mereka mendapat tugas dari Panglima AFNEI untuk melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan interniran Sekutu. Kedatangan mereka diterima dengan enggan oleh pemerintah Jawa Timur yang dipimpin oleh Gubernur R.M.T.A Soeryo. Setelah diadakan pertemuan antara wakil-wakil Pemerintah RI dengan Brigjen A.W.S. Mallaby, dihasilkan kesepakatan sebagai berikut.

a. Inggris berjanji diantara mereka tidak terdapat Angkatan Perang Belanda,
b. Disetujui kerja sama antara kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketenteraman,
c. Akan segera dibentuk Kontak Biro agar kerja sama dapat terlaksana sebaik-baiknya,
d. Inggris hanya akan melucuti senjata tentara jepang saja.

Selanjutnya Pemerintah RI mempersilahkan tentara Inggris memasuki kota dengan syarat hanya objek-objek yang sesuai dengan tugasnya yang boleh diduduki, seperti kamp-kamp tawanan.
Dalam perkembangannya pihak Inggris ternyata mengingkari janjinya. Pada malam hari tanggal 26 Oktober 1945, satu peleton dari Field Security Section dibawah pimpinan Kapten Shaw melakukan penyergapan ke penjara Kalisosok. Penyergapan ini bertujuan untuk membebaskan Kolonel huiyer, seorang Kolonel Angkatan Laut Belanda dan kawan-kawannya. Tindakan Inggris ini dilanjutkan keesokan harinya dengan menduduki Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Interario, dan objek-objek vital lainnya.

3. Pertempuran Palagan Ambarawa

Ambarawa adalah sebuah kota yang terletak di antara Semarang-Magelang dan Semarang-Solo. Pada tanggal 20 Oktober 1945 pasukan Sekutu Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 mendarat di Semarang. Pemerintah RI memperkenalkan mereka untuk mengurus tawananan yang ada di penjara Ambarawa dan Magelang. Ternyata mereka diboncengi oleh NICA dan mempersenjatai para bekas tawanan itu, maka pada tanggal 26 Oktober 1945, pecahlah insiden di Magelang yang berlarut menjadi insiden antara TKR dan tentara Sekutu. Insiden ini berhenti setelah kedatangan Presiden Soekarno dan Brigjen Bethell di Magelang pada tanggal 2 November 1945. Mereka mengadakan perundingan dan menghasilkan kesepakatan yang dituangkan ke dalam 12 pasal, di antaranya sebagai berikut.

a. Pihak Sekutu tetap akan menempatkan pasukannnya di Magelang, untuk melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi APWI. Jumlah pasukan Sekutu ditentukan terbatas bagi keperluan melaksanakan tugasnya,
b. Jalan Raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia dan Sekutu,
c. Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawah kekuasaannya.

Ternyata pihak Sekutu ingkar janji. Kesempatan dan kelemahan dalam pasal-pasal itu dipergunakan untuk menambah jumlah pasukannya di Magelang.

Pada tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara TKR di bawah pimpinan Mayor Soemarto melawan pasukan Sekutu. Oleh karena itu, pada tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu yang ada di Magelang ditarik ke Ambarawa. Keesokan harinya pertempuran berkobar di dalam kota. Pasukan Sekutu melakukan pemboman terhadap kampung-kampung di sekitar Ambarawa. Pasukan TKR bersama pasukan pemuda yang berasal dari Boyolali, Salatiga, dan Kartasura bertahan di kuburan Belanda sehingga membentuk garis medan sepanjang rel kereta api dan membelah kota Ambarawa.

4. Pertempuran Medan Area

Pasukan NICA mendarat di Sumatra Utara pada tanggal 9 Oktober 1945. Mereka membonceng orang-orang Sekutu yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan. Untuk menghormati tugas Sekutu, Pemerintah RI Sumatra Utara mengizinkan mereka menempati beberapa hotel di kota Medan. Sebagian dari mereka ditamptkan di Binjai, Tanjung Morawa, dan bebrapa tempat lain dengan memasang tenda-tenda lapangan.

Sehari setelah mendarat, team RAPWI (Relief of Allied Orisoners of War and Internees) telah mendatangi kamp-kamp tawanan di Pulu, Berayan, Saentis, Rantau Prapat, Pematang Siantar, dan Brastagi untuk membantu membebaskan para tawanan dan dikirim ke Medan atas persetujuan Gubernur Moh. Hassan. Namun pada kenyataannya dari para tawanan perang itu langsung dibentuk menjadi “Medan Batalyon KNIL”. Hal itu memicu timbulnya konflik dengan para pemuda.

Insiden pertama terjadi pada tanggal 13 Oktober 1945 dari hotel di Jalan Bali, Medan. Insiden ini berawal dari seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-injak lencana merah-putih yang dipakai oleh seorang warga setempat. Akibatnya hotel tersebut diserang oleh para pemuda. Dalam insiden tersebut jatuh 96 korban luka-luka. Ternyata sebagian besar adalah orang-orang NICA.

5. Permulaan Perundingan Awal Indonesia-Belanda

Pada tanggal 1 november 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat yang isinya menghendaki pengakuan dari pihak Inggris dan Belanda terhadap Negara Republik Indonesia yang baru diproklamasikan. Selanjutnya, Kabinet Syahrir mengadakan kontak, baik diplomatic dengan pihak Inggris maupun Belanda.

Inggirs yang ingin segera menyelesaikan tugasnya di Indonesia, mengirimkan Sir Archibald Clark Kerr sebagai duta istimewa ke Indonesia untuk menjadi penengah dalam pertikaian antara Belanda dan Indonesia. Pihak Belanda menunjuk Dr.H.J. van Mook sebagai wakilnya. Perundingan dimulai pada tanggal 10 Februari 1946. Dalam pertemuan itu Van Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda yang mengulangi pidato Ratu Belanda pada tanggal 7 Desember 1942, yang isi pokoknya sebagai berikut.

a. Indonesia akan dijadikan negara persemakmuran berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan Kerajaan Belanda.
b. Masalah dalam negeri diurus oleh Indonesia, sedangkan urusan luar negeri diurus oleh pemerintah Belanda,
c. Sebelum dibentuknya negara persemakmuran akan dibentuk pemerintahan peralihan selama 10 tahun,
d. Indonesia akan dimasukkan sebagai anggota PBB.

Pihak Indonesia belum memberikan pernyataan balasan pada perundingan itu. Sementara itu suatu gabungan organisasi dengan nama Persatuan Perjuangan melakukan oposisi terhadap Kabinet Syahrir. Mereka berpendapat bahwa perundingan hanya dapat dilakukan atas dasar pengakuan 100% terhadap RI. Demikian halnya dengan Sidang KNIP di Solo pada tanggal 28 Februari-2 Maret 1946, mayoritas suara KNIP menentang kebijakan Perdana Menteri Syahrir. Karena kuatnya oposisi, maka Syahrir menyerahkan kembali mandatnya kepada presiden.

6. Reaksi terhadap Strategi Diplomasi

Ketika Kabinet Syahrir I jatuh dalam siding KNIP pada bulan Februari 1946 di Solo, Persatuan Perjuangan (PP) sebenarnya mengharapkan Tan Malaka ditunjuk sebagai formatur cabinet sesuai dengan mayoritas suara dalam KNIP. Namun, presiden dan wakil presiden kembali menunjuk Sutan Syahrir karena kebijakan politiknya sesuai dengan garis politik Soekarno-Hatta, khususnya mengenai strategi diplomasi. Sedangkan Tan Malaka yang diusulkan PP, lebih memilih menghendaki konfrontasi total terhadap Belanda. Pada masa pemerintahan Kabinet Syahrir II, PP terus melakukan oposisi. Oleh karena itu, pemerintah mulai mencurigai Kelompok Tan Malaka ini.

Pada tanggal 17 Maret 1946 beberapa tokoh politik dari PP ditangkap. Pemerintah menyatakan bahwa tujuan penangkapan itu adalah untuk mencegah bahaya yang lebih besar. Mereka yang ditangkap adalah Tan Malaka, Sukarni, Abikusno Tjokrosujoso, Chairul Saleh, Muh. Yamin, Suprapto, dan Wondoamiseno. Dengan ditangkapnya para pemimpin PP, praktis kegiatan PP lumpuh. Pada tanggal 4 Juni 1946, peranannya digantikan oleh Konsentrasi Nasional yang mendukung kebijakan pemerintah.

Pergolakan politik dalam negeri Ri merupakan kesempatan bagi Belanda untuk melakukan penekanan politik dan militer terhadap Indonesia. Tekanan politik dilakukan dengan mengadakan Konferensi Malino pada tanggal 15-25 Juli 1946. Konferensi ini bertujuan untuk membentuk “negara-negara bagian” di daerah yang baru diserahterimakan oleh Inggris dan Australia. Negara-negara bagian itu akan dijadikan alat untuk memaksakan kehendak kepada Pemerintah RI untuk segera menyetujui pembentukan negara federasi sebagaimana yang diusulkan Belanda.

7. Bandung Lautan Api

Pada tanggal 17 Oktober 1945 pasukan Sekutu dengan dibonceng NICA memasuki kota Bandung. Mereka melakukan teror-teror terhadap rakyat sehingga terjadi pertempuran-pertempuran dengan pemuda bandung. Pada tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu mengeluarkan ultimatum agar Bandung Utara dikosongkan paling lambat tanggal 29 November 1945. Hal itu ditolak oleh rakyat Bandung. Untuk menyelesaikan masalah tersebut perundingan dengan kesepakatan bahwa Bandung dibagi menjadi dua dengan batas jalan kereta api, yaitu sebelah utara dikuasai Sekutu dan selatan dikuasai Indonesia.

Namun, Inggris kembali mengeluarkan ultimatum agar Indonesia mengosongkan seluruh Bandung. Hal tersebut kembali diabaikan oleh rakyat Bandung karena mereka tidak kuasa meninggalkan tanah kelahirannya. Sementara itu dari pemerintah pusat turun perintah untuk mengosongkan kota Bandung. Sebaliknya, dari pihak Markas Besar TRI Yogyakarta memerintahkan untuk tetap bertahan di kota tersebut. Akhirnya dengan berat rakyat Bandung mengikuti perintah pemerintah pusat, yaitu pengosongan dengan dibumihanguskan terlebih dahulu. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 24 Maret 1946 dan terkenal dengan Bandung Lautan Api. Pada peristiwa tersebut jatuh korban Mohammad Toha yang tewas ketika meledakkkan Gudang Mesiu NICA.

8. Peristiwa 3 Juli 1946

Peristiwa 3 Juli 1946 dikenal sebagai peristiwa mengubah susunan pemerintahan. Peristiwa politik ini adalah upaya menuju proses disintegrasi nasional. Peristiwa 3 Juli 1946 diawali dengan peristiwa penculikan terhadap Perdana Menteri Syahrir dan tokoh-tokoh lainnya seperti Menteri Kesehatan Dr. Darmasetiawan, Mayor Jenderal Soedibjo. Penculikan ini terjadi di Solo pada tanggal 27 Juni 1946. Peristiwa ini didalangi oleh Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Tan Malaka. Semula organisasi itu bernama Volksfront Volksfront yang berdiri di Solo pada tanggal 5 Januari 1946.

9. Konferensi Malino

Konferensi Malino diprakarsai oleh H. J. Van Mook, seorang wakil gubernur jenderal Belanda di Malino, sebuah kota kecil di Sulawesi Selatan. Konfernsi berlangsung mulai tanggal 15-25 Juli 1946. Konferensi ini dihadiri utusan-utusan dari berbagai daerah yang berada di bawah pendudukan Belanda, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bangka Belitung, Riau, Sulawesi Selatan, Minahasa, Menado, Bali, Lombok, Timor, Sangihe Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan, dan Papua.

Konferensi Malino membahas tentang pembentukan negara-negara di wilayah negara Indonesia yang akan menjadi negara bagian dari suatu negara federal. Sebagai kelanjutan Konferensi Malino, diadakan Konferensi Pangkalpinang pada tanggal 1 Oktober 1946 yang membicarakan golongan-golongan minoritas. Baik Konferensi Malino maupun Pangkalpinang adalah rongrongan menuju disintegrasi nasional. Kedua konferensi tersebut merupakan bagian dari skenario Belanda yaitu politik devide et impera.

10. Perjanjian Linggajati

Pihak Inggris sekali lagi menawarkan jasa baiknya untuk menjadi perantara antara dua pihak yang bertikai. Kali ini Inggris mengutus Lord Killearn untuk menjadi penengah. Sementara itu, Sutan Sayhrir yang ditunjuk menjadi formatur berhasil membentuk Kabinet Syahrir III yang dilantik pada tanggal 2 Oktober 1946. Cabinet ini melanjutkan perundingan dengan Belanda. Sebelum perundingan dimulai, diciptakan keadaan damai dengan mengadakan genjatan senjata. Dalam perundingan tersebut pihak RI dipimpin oleh dr. Soedarsono, Jenderal Soedirman, dan Jenderal Oerip Soemohardjo, sedangkan pihak Belanda diwakili oleh Komisi jenderal yang dipimpin oleh Prof. Schermerhorn. Perundingan pendahuluan ini dilakukan di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1946.

11. Pertempuran Margarana

Pertempuran Margarana terjadi pada tanggal 29 November 1946. Pertempuran ini dipicu oleh hasil perundingan Linggajati. Dalam perundingan tersebut pengakuan secara de facto wilayah kekuasaan RI oleh Belanda hanya meliputi Jawa, Madura, dan Sumatra. Hal itu berarti bahwa Bali tidak diakui sebgai bagian Republik Indonesia.

Tampaknya, Belanda hendak memasukkan Bali sebagai negara boneka dan menjadi satu negara di wilayah Indonesia bagian Timur. Untuk kepentingan tersebut Belanda membujuk I Gusti Ngurah Rai untuk bekerja sama. Namun, ajakan tersebut ditolaknya mentah-mentah.

12. Peristiwa Westerling di Makassar

Peristiwa ini dipicu oleh keinginan Belanda mewujudkan negara boneka yang bernama Negara Indonesia Timur. Karena upaya ini banyak mendapat rintangan dari pejuang-pejuang di Sulawesi Selatan, maka pada bulan Desember 1945 Belanda mengirimkan pasukannya di bawah pimpinan Raymond Westerling. Sejak kedatangannya pada tanggal 7 Desember 1946 hingga 25 Desember 1946 pasukan ini telah membunuh beribu-ribu rakyat.

Dengan dukungan tentara Australia, belanda berhasil mendesak mundur perlawanan Pusat Pemuda Nasional Indonesia pimpinan Manai Sophian. Tergabung dalam organisasi tersebut diantaranya adalah pemuda-pemuda pelajar seperti Wolter Monginsidi. Pada awalnya pemuda-pemuda pelajar ini berhasil merebut tempat-tempat strategis di kota Makassar yang telah diduduki oleh Belanda (NICA). Tempat yang diduduki itu antara lain Stasiun Radio Makassar, Tangsi Polisi di Jalan Gowa, serta Hotel Express.

13. Konferensi Denpasar

Upaya Belanda untuk mewujudkan politik memecah belah atau devide et impera tak pernah berhenti. Sebagai kelanjutan dari Konferensi Malino, maka Belanda menyelenggarakan Konfernsi Denpasar yang berlangsung pada tanggal 18-24 Desember 1946.

Konferensi Denpasar berhasil mengambil keputusan penting yaitu terwujudnya Negara Indonesia Timur. Sebagai presiden Negara Indonesia Timur dipilih Sukawati. Inilah sukses besar sang creator politik devide et impera yaitu van Mook.

14. Agresi Militer Belanda Pertama dan Campur Tangan PBB

Keterlibatan PBB untuk membahas masalah RI dimulai dari usulan utusan Republik Sosialis Ukrania pada tanggal 21 Januari 1946. PBB diminta untuk campur tangan, karena tentara Inggris yang bertugas di Indonesia telah menggunakan tentara Jepang untuk menindas gerakan rakyat Indonesia. Hal itu dianggap sebagai ancaman terhadap pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.

Agresi Militer Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947 telah menimbulkan reaksi dari berbagai penjuru dunia. India dan Australia mengajukan permohonan agar masalah RI dan Belanda segera dibicarakan dalam Sidang Dewan Keamanan PBB. Usulan tersebut diterima sehingga pada tanggal 31 Juli 1947 masalah Indonesia-Belanda dimasukkan ke dalam acara Sidang Dewan Keamanan. Dengan demikianm, posisi Indonesia semakin kuat dan dunia luar mengakui perjuangan Kemerdekaan Indonesia.

15. Perjanjian Renville

Pada tanggal 27 Oktober 1947 para anggota KTN tiba di Indonesia. Dari kontak pendahuluan yang dilakukan dengan kedua pihak yang bersengketa menunjukkan bahwa masing-masing pihak tak mau bertemu di wilayah yang dikuasai pihak lainnya. Belanda mengusulkan Jakarta sebagai tempat perundingan, tetapi ditolak oleh pihak RI. Pihak RI menganggap bahwa di Jakarta sudah tidak ada kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan tidak ada jawatan RI yang aktif akibat Agresi Militer Belanda. RI menginginkan perundingan dilakukan di luar daerah pendudukan Belanda. Oleh karena itu, Amerika menawarkan kapal angkut USS Renville sebagai tempat perundingan yang netral.

16. Agresi Militer Belanda II

Sementara itu, karena tidak ada kesesuaian pendapat maka perundingan dengan pihak Belanda ekmabli mengalami kemacetan. Pihak RI masih tetap berpegang pada usul Du Bois-Critchley yang beranggapan bahwa perundingan baru dapat dimulai setelah pihak Belanda menjamin imunitas diplomasi pihak Indonesia. Sebaliknya, pihak Belanda beranggapan bahwa keadaan keamanan di Jawa semakin buruk, jumlah pelanggaran genjatan senjata yang dilakukan pihak RI semakin meningkat.

a. Persiapan-Persiapan Pertahanan

Berdasarkan pengamatan keadaan setelah Perundingan Renville, Belanda berusaha mengepung RI baik secara politik, ekonomi maupun militer. Di beberapa tempat, tentara Belanda melakukan pemindahan pasukan ke dekat garis demarkasi.

b. Gerilya

Beberapa hari setelah perundingan menemui jalan buntu, pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan aksi militernya yang kedua terhadap wilayah RI. Ibukota RI Yogyakarta berhasil direbut dengan menggunakan pasukan paying. Presiden dan wakil presiden yang tidak menyingkir berhasil ditawan oleh Belanda. Sementara itu Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Soedirman, menyingkir ke luar kota untuk memimpin perang gerilya secara total terhadap tentara Belanda. Selama 7 bulan Jenderal Soedirman harus berjuang keras demi mempertahankan kelangsungan Negara Republik Indonesia.

c. Pendekatan-Pendekatan RI-Belanda-BFO

Karena desakan-desakan PBB, maka pada bulan pertama tahun 1949 pihak Belanda kembali mengadakan pendekatan-pendekatan terhadap pihak RI. Perdana Menteri Belanda Dr. Dress mengundang Prof. Dr. Soepomo (salah satu anggota delegasi RI dalam Perundingan Renville) untuk kembali berunding. Selain itu juga dilakukan pertemuan pada tanggal 21 januari 1949 antara delegasi BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg), yaitu Mr. Djumhana dan dr. Ateng dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Hasil kedua pertemuan itu tidak diumumkan. Namun, Mr. Moh. Roem, pimpinan delegasi RI menyatakan bahwa RI bersedia berunding dengan BFO dengan syarat diawasi oleh Komisi PBB. BFO adalah musyawarah antara negara-negara bagian buatan Belanda.

17. Pemerintah Darurat Republik Indonesia

Pada tanggal 19 Desember 1948, sebelum Pemerintah Republik Indonesia ditawan mereka sempat mengadakan rapat di Gedung Negara Yogyakarta yang menghasilkan kesepakatan berikut.

a. Memberi kuasa penuh kepada Mr Syarifuddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran RI) untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra.
b. Kepada Mr A. A. Maramis, L.N. Palar, dan Soedarsono diperintahkan untuk membentuk PDRI di India bila Mr. Syarifuddin gagal di Sumatra.
c. Presiden, wakil presiden, dan petinggi lainnya akan tinggal di ibu kota dengan risiko ditawan oleh Belanda tetapi tetap berdekatan dengan KTN.

18. Perundingan Roem Royen

Pada tanggal 28 Januari 1949 DK PBB memutuskan bahwa tugas KTN digantikan oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia) yang anggotanya sebagai berikut.

a. Australia diwakili Critchley,
b. Belgia diwakili oleh Herremans,
c. Amerika diwakili oleh Merle Cochran.

a. Pernyataan Pihak RI

Pernyataan pihak RI dibacakan oleh Ketua delegasi RI Mr. Moh. Roem atas nama Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta sebagai berikut.

1. Pengeluaran perintah kepada “pengikut RI yang bersenjata” untuk mengehentikan perang gerilya,
2. Kerja sama dalam hal pengembalian perdamaian, menjaga keamanan, dan ketertiban,
3. Turut serta dalam KMB di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.

b. Pernyataan Pihak Belanda

Pernyataan pihak Belanda dibacakan oleh Ketua Delegasi Belanda Dr. van Royen sebagai berikut.

1. Delegasi Belanda menyetujui pembentukan panitia bersama di bawah pengawasan Komisi PBB,
2. Pemerintah Belanda setuju bahwa Pemerintah RI harus bebas dan leluasa melakukan jabatan sepatutnya dalam satu daerah meliputi Keresidenan Yogyakarta,
3. Pemerintah Belanda membebaskan tak bersyarat pemimipin-pemimpin Republik Indonesia dan tahanan politik yang tertangkap sejak tanggal 19 Desember 1948,
4. Pemerintah Belanda menyetujui RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat,
5. Konferensi Meja Bundar di Den Haag akan diadakan secepat mungkin sesudah Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.

c. Tindak Lanjut Perundingan Roem-Royen

Sebagai tindak lanjut dari Perundingan Roem-Royen, maka pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan antara RI, BFO, dan Belanda. Perundingan ini dilakukan di bawah pengawasn anggota UNCI, Critchly dari Australia. Hasil perundingan ini adalah:

1. Pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 1949,
2. Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya Pemerintah RI ke Yogyakarta,
3. Konferensi Meja Bundar diusulkan akan diadakan di Den Haag.

19. Konferensi Antar Indonesia

Setelah para pemimpin RI kembali ke Yogyakarta, perundingan dengan BFO yang telah dirintis di Bangka dimulai lagi. Pada tanggal 19-22 Juli 1949 di Yogyakarta diadakan perundingan antara pihak RI dan BFO yang disebut Konferensi Antar-Indonesia. Perundingan ini menghasilkan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan bidang ketatanegaraan dan Militer Negara Indonesia Serikat, yaitu sebagai berikut.

a. Bidang Ketatanegaraan

1. Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat berdasarkan demokrasi dan federalisme,
2. RIS akan dikepalai oleh seorang presiden konstitusional yang dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat,
3. Akan dibentuk dua badan perwakilan, yaitu sebuah dewan perwakilan rakyat dan sebuah dewan perwakilan negara bagian (senat),
4. Pemerintahan Federal Sementara akan menerima kedaulatan bukan saja dari pihak Negara Belanda, melainkan pada saat yang sama juga dari pihak Republik Indonesia.

b. Bidang Militer

1. Angkatan Perang RIS (APRIS) adalah angkatan perang nasional. Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS,
2. Pertahanan Negara adalah semata-mata hak Pemerintah RIS, negara-negara bagian tidak akan memiliki angkatan perang sendiri,
3. Angkatan Perang RIS akan dibentuk oleh Pemerintah RIS dengan intinya angkatan perang RI (TNI), bersama-sama dengan orang Indonesia yang tergabung dalam KNIL, ML, KM, VB, dan Territoriale Bataljons,
4. Pada masa permulaan RIS, menteri pertahanan dapat merangkap sebagai Panglima Besar APRIS.

20. Konferensi Meja Bundar dan Dampaknya

a. Keputusan yang Dicapai dalam KMB

KMB dimulai pada tanggal 23 Agustus 1949 di Den Haag, Belanda. Konferensi ini berlangsung sampai dengan 2 November 1949. Hasil-hasil yang dicapai dalam KMB ini diantaranya sebagai berikut.

1. Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat,
2. Status Karesidenan Papua akan diselesaikan dalam waktu setahun sesudah pengakuan kedaulatan,
3. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda berdasarkan kerja sama sukarela dan sederajat,
4. RIS mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan hak konsesi serta izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda,
5. RIS harus membayar semua utang-utang Belanda yang diperbuat sejak tahun 1942.

b. Dampak Konferensi Meja Bundar

Pada tanggal 15 Desember 1949 diadakan pemilihan Presiden RIS dengan calon tunggal Ir. Soekarno. Pada tanggal 16 Desember 1949 Ir. Soekarno dipilih sebagai Presiden RIS dan pada keesokan harinya diambil sumpahnya. Pada tanggal 20 Desember 1949 Kabinet RIS pertama dibentuk dengan Moh. Hatta sebagai perdana menterinya dan langsung dilantik oleh presiden. Pada tanggal 2 Desember 1949 delegasi RIS yang dipimpin oleh Moh. Hatta berangkat ke Belanda untuk menandatangani akte “penyerahan” kedaulatan dari pemerintah Belanda.

21. Kembali ke Negara Kesatuan

Faktor-faktor yang menyebabkan semakin kuatnya dorongan pembubaran RIS adalah sebagai berikut.

a. Anggota cabinet ini pada umumnya orang-orang republiken pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hanya dua orang yang tetap mendukung sistem federal (serikat), yaitu Sultan Hamid II dan Anak Agung Gede Agung. Oleh karena itulah opini untuk membubarkan RIS dan pembentukan negara kesatuan sangat kuat,
b. Ada anggapan di kalangan rakyat Indonesia bahwa pembentukan sistem federal (RIS) merupakan upaya Belanda untuk kembali memecah belah bangsa Indonesia,
c. Pembentukan RIS tidak didukung oleh ideology yang kuat, tanpa tujuan kenegaraan yang jelas,
d. Pembentukan RIS tidak mendapat dukungan rakyat banyak,
e. RIS menghadapi rongrongan dari sisa-sisa kekuatan Belanda seperti KNIL dan KL serta golongan yang takut kehilangan hak-haknya setelah Belanda meninggalkan Indonesia.

Sumber : Yudhistira

Mohon maaf apabila banyak kesalahan dalam tulisan tersebut, terimakasih.

Senin, 04 Juni 2012

TUGAS BAB III (Ketahanan Nasional)

Perjuangan Terhadap Ancaman Disintegrasi Bangsa

A. Pemberontakan PKI Madiun


1. Biro Perjuangan sebagai TNI Sayap Kiri

Dalam pertemuan antara menteri pertahanan, pimpinan TKR, dan lascar-laskar pada tanggal 24 Mei 1946, disepakati bahwa Badan Pendidikan Tentara dialihkan dari Markas Besar TRI Kementerian Pertahanan. Nama badan pendidikan ini diubah menjadi Staf Pendidikan Politik dan Tentara (Pepolit) yang akan dipimpin oleh opsir-opsir politik. Sukono Djojopratignjo diangkat sebagai pimpinan Pepolit dengan pangkat letnan jenderal. Pada setiapdivisi diperbantukan 5 opsir politik yang berpangkat letnan colonel. Pepolit ternyata dimanfaatkan oleh Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin untuk kepentingan politiknya sehingga Pepolit tumbuh menjadi semacam komisaris politik seperti Angkatan Perang Uni Soviet yang berkedudukan sejajar dengan para komandan pasukan. Oleh karena itu, keberadaan Pepolit ditolak oleh para panglima divisi dan para komandan pasukan sehingga keberadaan Pepolit merosot di daerah-daerah.

2. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang dan Jalan Baru Musso

Setelah Kabinet Amir Syarifuddin jatuh, presiden menunjuk Wakil Presiden Moh. Hatta untuk membentuk cabinet baru. Moh. Hatta berupaya membentuk cabinet koalisi dengan mengikutsertakan semua partai politik dengan tujuan untuk menggalang persatuan nasional. Kepada kelompok sayap kiri (komunis), Moh. Hatta menawarkan 3 kursi tanpa portofolio (departemen). Akan tetapi, kelompok sayap kiri menuntut setidaknya 4 kursi termasuk jabatan Menteri Pertahanan. Permintaan ini tidak disetujui, sehingga Moh. Hatta membentuk kabinetnya tanpa sayap kiri. Kabinet Hatta memiliki program sebagai berikut.

a. Pelaksanaan Perundingan Renville dan selanjutnya mengadakan perundingan lanjutan dengan dasar-dasar yang telah dicapai.
b. Mempercepat terbentuknya Negara Indonesia Serikat (NIS).
c. Melaksanakan rasionalisasi di dalam negeri.
d. Pembangunan.

Untuk melanjutkan Perundingan Renville, Moh. Hatta menunjuk Mr. Moh. Roem sebagai ketua delegasi RI. Sebagai pendahuluan, Moh. Hatta mengadakan pembicaraan dengan Van Mook mengenai masalah plebisit dan penyerahan kekuasaan RI kepada pemerintahan sementara.

3. Pemberontakan dan Penumpasan

Pertentangan politik yang dimunculkan oleh golongan kiri di atas, meningkat menjadi insiden bersenjata di Solo. Pada mulanya insiden terjadi antara FDR/PKI dengan kelompok komunis pimpinan Tan Malaka yang tergabung dalam Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Selanjutnya, insiden terjadi antara FDR/PKI dengan pasukan TNI. Insiden tersebut bertujuan untuk menjadikan Surakarta menjadi daerah kacau (wild west), sedangkan daerah Madiun dijadikan basis gerilya.

Sebagai puncak agitasi PKI itu, pada tanggal 18 September 1948 di Madiun, tokoh-tokoh PKI memproklamasikan berdirinya Soviet Republik Indonesia, maka pecahlah pemberontakan PKI Madiun. Selanjutnya pemberontak mengangkat Kolonel Djokosuyono menjadi “Gubernur Militer” Madiun. Pihak pemberontak berhasil menguasai kota Madiun dan Radio Gelora Pemuda.

Dalam pidato radionya, Djokosuyono menyatakan bahwa bagian yang terpenting dari revolusi adalah membersihkan tentara Republik Indonesia dari golongan reaksioner dan colonial. Kemudian Musso juga menyerang pemerintah dengan menyatakan bahwa Soekarno-Hatta telah menjalankan politik kapitulasi terhadap Belanda dan Inggris serta hendak menjual tanah air kepada kaum kapitalis. Padahal Persetujuan Renville yang mereka kecam, merupakan hasil tokoh PKI sendiri, yaitu Amir Syarifuddin ketika menjabat sebagai perdana menteri.

B. Pemberontakan DI/TII

1. Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Selama masa pendudukan Jepang dan setelah proklamasi kemerdekaan, Sekarmadji Marijan Kartosuwiryo menjadi anggota Partay Masyumi. Bahkan ia kemudian terpilih menjadi Komisaris Jawa Barat merangkap sekretaris I partai tersebut. Gagasan mendirikan Negara Islam Indonesia sebenarnya telah dicanangkan oleh S.M.Kartosuwiryo sejak tahun 1942. Pada mulanya, di Malangbong Kartosuwiryo mendirikan Pesantren Sufah, yang digunakan untuk latihan kemiliteran bagi pemuda-pemuda Islam, khususnya Hizbullah dan Sabilillah, serta digunakan pula untuk menyebarkan propaganda pembentukan “Negara Islam”. Sebelumnya ia pernah dicalonkan sebagai menteri pertahanan, namun karena ia mempunyai tujuan tersendiri, maka jabatan itu ditinggalkan.

Pada tanggal 14 Agustus 1947 setelah Agresi Militer Belanda I, Kartosuwiryo menyatakan ‘perang suci’ melawan belanda. Gerakan Kartosuwiryo semakin tidak sejalan dengan Pemerintah RI ketika terjadi Perundingan Renville yang dianggap merugikan pihak Indonesia. Salah satu isi persetujuan itu menyatakan bahwa semua pasukan TNI didaerah kantong-kantong gerilya harus hijrah ke wilayah yang dikuasai oleh RI. Penolakannya terhadap perjanjian Renville diwujudkannya dengan sikap menolak melakukan hijrah ke wilayah RI. Bersama 4.000 orang pengikutnya ia memilih tetap tinggal di Jawa Barat.

Dalam konfrensi di Cisayong pada bulan Februari 1948 diputuskan untuk mengubah gerakan mereka dari gerakan kepartaian menjadi gerkan kenegaraan, dengan cara membekukan kegiatan Masyumi di Jawa Barat. Selanjutnya mereka membentuk Majelis Umat Islam yang mengangkat S. M. Kartosuwiryo sebagai imam dari Negara Islam Indonesia (NII). Kemudian dibentuk pula Tentara Islam Indonesia (TII). Pada tanggal 7 Agustus 1949 secara resmi Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) yang berlandaskan kanun azasi.

Pada tanggal 25 Januari 1949 terjadi kontak senjata pertama kali antara TNI dan DI/TII, ketika pasukan Divisi Siliwangi melakukan hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Bahkan kemudian terjadi perang segitiga antara TNI-DI/TII Tentara Belanda. Upaya damai dilakukan oleh Pemerintah RI melalui Moh. Natsir (pemimpin Masyumi) lewat sepucuk surat, namun tidak berhasil. Upaya kedua dilakukan dengan membentuk sebuah komite dipimpin oleh Moh. Natsir pada bulan September 1949. Akan tetapi, usaha itu pun juga gagal mengajak Kartosuwiryo untuk kembali ke pangkuan RI.

Munculnya gerakan DI/TII telah mengakibatkan penderitaan rakyat Jawa Barat. Sering kali rakyat mendapatkan teror dari mereka. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka juga merampok rakyat, terutama yang tinggal didaerah-daerah terpencil di lereng gunung.

2. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah

Munculnya DI/TII di Jawa Tengah berawal dari Majelis Islam yang dipimpin oleh Amir Fatah. Pada mulanya Amir Fatah menjabat sebagai komandan laskar Hizbullah di Front Tulangan Sidoarjo dan Mojokerto, Jawa Timur. Kemudian ia meninggalkan front dan menggabungkan diri dengan TNI di Tegal. Di Tegal, pasukan Hizbullah yang berdiri sejak bulan Januari 1946, menggabungkan diri dengan TNI Batalion 52 yang dipimpin oleh Mayor Moh. Bachrin. Amir Fatah berhasil mempengaruhi Mayor Bachrin, sehingga bersama pasukannya meninggalkan Wonosobo kembali ke daerah Brebes-Tegal. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Amir Fatah berada di front Brebes-Tegal bersama satuan-satuan TNI stempat. Tugas utamanya mengurus penggabungan laskar-laskar masuk ke dalam TNI. Setelah mendapatkan pengikut yang cukup banyak, pada tanggal 23 Agustus 1949 di Desa Pengarasan, Tegal, ia memproklamasikan berdirinya Darul Islam (DI). Pasukannya diberi nama Tentara Islam Indonesia (TII). Ia menyatakan bahwa gerakannya bergabung dengan Gerakan DI/TII Jawa Barat yang dipimpin oleh Kartosuwiryo.

Selain dari itu, di Kebumen juga terjadi gerakan yang bernama Angkatan Umat Islam yang dipimpin Mohammad Mahfud Abdurrahman (Kyai Somolangu). Gerakan ini juga bermaksud untuk membentuk Negara Islam Indonesia dan bergabung dengan Kartosuwiryo. Gerakan ini sebenarnya sudah dapat didesak oleh TNI. Namun, pada tahun 1952 kembali menjadi kuat setelah adanya pemberontakan Batalyon 423 dan 426 di Kudus dan Magelang yang menyatakan bergabung dengan mereka.

3. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Bagi pemerintah RI, gerakan yang dimulai pada tahun 1951 yang baru dapat diselesaikan pada tahun 1965 ini, banyak memakan waktu, tenaga, dan biaya. Hal itu disebabkan oleh kondisi medan yang sulit namun dapat dikuasai dengan baik oleh kaum pemberontak. Disamping itu, gerombolan ini pun berhasil memanfaatkan rasa kesukuan yang berkembang di kalangan rakyat.

Selama perang kemerdekaan, Kahar Muzakar pada mulanya berjuang di Sulawesi Selatan. Kemudian ia menyebrang ke Jawa dan berjuang di lingkungan Brigade 16 TNI. Ketika terjadi pertempuran di Surabaya, banyak pemuda Sulawesi yang tergabung dalam PRI Sulawesi, ikut bertempur untuk mempertahankan kota Surabaya dari gempuran tentara Inggris pada bulan November 1945.

Pada awal tahun 1946 di Jawa Barat dibentuk Batalion Kemajuan Indonesia dibawah pimpinan Kahar Muzakar. Pada bulan Maret 1946 utusan perjuangan Sulawesi, yaitu Andi Mattalata dan Saleh Lahade dating menemui Kahar Muzakar untuk melaporkan situasi di Sulawesi dan untuk mencari bantuan senjata. Setelah berdiskusi mereka sepakat untuk membentuk Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS).

4. Pemberontakan DI/TII di Aceh

Setelah Proklamsi Kemerdekaan RI, di Aceh terjadi pertentangan antara alim ulama yang tergabung dalam organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang dipimpin oleh Tengku Daud Beureuh dengan para kepala adat (Uleebalang). Pertentangan itu menyebabkan perang saudara antara kedua golongan tersebut yang berkobar sejak Desember 1945 sampai dengan Februari 1946. Untuk mengatasi kemelut itu pemerintah memberikan status Daerah Istimewa setingkat provinsi kepada Aceh dan mengangkat Tengku Daud Beureuh sebagai gubernur.

Setelah terbentuknya kembali NKRI pada bulan Agustus 1950, pemerintah mengadakan penyederhanaan administrasi pemerintahan sehingga beberapa daerah mengalami penurunan status. Salah satu diantaranya adalah Aceh, yang semula sebagai Daerah Istimewa turun menjadi daerah keresidenan dibawah Provinsi Sumatera Utara. Hal ini mengecewakan Tengku Daud Beureuh.

5. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan

Pada bulan Oktober 1950 terjadi pemberontakan Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT) yang dimpimpin oleh Ibnu Hajar. Ia adalah bekas letnan dua TNI. Ia bersama KRyT menyatakan diri sebagai bagian dari DI/TII Jawa Barat. Target serangan mereka adalah pos-pos TNI di wilayah tersebut.

Saat itu pemerintah memberi kesempatan untuk menghentikan pemberontakan secara baik-baik. Ibnu akhirnya menyerahkan diri. Namun, ia ternyata hanya berpura-pura. Setelah mendapatkan peralatan TNI, ia melarikan diri.

Akhirnya pemerintah melakukan Gerakan Operasi Militer (GOM) ke Kalimantan Selatan. Pada tahun 1959 Ibnu Hajar berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tanggal 22 Maret 1965.

C. Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)


Pada bulan Januari 1950 di Jawa Barat muncul gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh mantan Kapten Raymond Westerling dalam dinas tentara kerajaan Belanda (KNIL). Gerakan ini memanfaatkan kepercayaan rakyat akan datangnya Ratu Adil. Westerling memahami penderitaan rakyat Indonesia selama penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang sehingga mendambakan kemakmuran seperti yang terdapat dalam Ramalan Jayabaya. Menurut ramalan tersebut akan dating seorang pemimpin yang disebut Ratu Adil yang akan memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga rakyat menjadi makmur dan sejahtera. Namun, sebenarnya tujuan gerakan ini adalah sebagai berikut.

1. Tetap berdirinya Negara Pasundan,
2. APRA sebagai tentara Negara Pasundan.

Kedua hal tersebut tentunya bertentangan dengan hasil Konferensi Antar Indonesia yang menyatakan bahwa APRIS sebagai Angkatan Perang Nasional.

Pada tanggal 23 Januari 1950, APRA dengan kekuatan 800 personil, diantaranya 300 orang anggota KNIL dan KL yang bersenjata lengkap menyerbu kota Bandung dan secara ganas membunuh anggota TNI yang dijumpai. Gerakan ini berhasil menduduki markas Divisi Siliwangi setelah membunuh hamper seluruh anggota regu jaga yang hanya 15 orang termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan mereka berjumlah sekitar 150 orang. Hanya tiga orang yang berhasil lolos dari pengepungan itu.

Banyak penduduk yang menjadi korban, termasuk 79 orang anggota TNI yang gugur. Pemerintah RIS segera mengirimkan pasukan bantuan ke Bandung. Sementara itu, di Jakarta juga segera diadakan perundingan antara perdana menteri RIS dengan komisaris tinggi Belanda. Di Bandung kepala staf Divisi Siliwangi Letnan Kolonel Eri Sudewo menemui Panglima Divisi C tentara Belanda, Mayor Jenderal Engels untuk membicarakan masalah tersebut. Hasilnya, komandan tentara Belanda di Bandung Mayor Jenderal Engels mendesak agar APRA segera meninggalkan kota Bandung. Setelah meninggalkan Bandung, gerombolan APRA menyebar ke berbagai tempat dan terus dikejar oleh tentara APRIS. Dengan bantuan penduduk gerombolan tersebut berhasil dilumpuhkan.

Gerakan APRA juga diarahkan ke Jakarta. Dalam hal ini Westerling bekerja sama dengan Sultan Hamid II, yang menjadi menteri negara tanpa portofolio dalam kabinet RIS. Rencananya gerakan ini akan menyerang gedung tempat berlangsungnya siding kabinet. Mereka merencanakan untuk membunuh Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. Ali Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang. Berkat kesigapan dari APRIS usaha APRA di Jakarta berhasil digagalkan. Pada tanggal 22 Februari 1950 Westerling berhasil melarikan diri ke luar negeri dengan pesawat Catalina, sedangkan Sultan Hamid II berhasil ditangkap pada tanggal 4 April 1950.

D. Pemberontakan Andi Azis

Rongrongan lainnya terhadap Pemerintahan RIS dating dari Kapten Andi Azis di Makassar, seorang mantan perwira KNIL yang baru saja diterima sebagai anggota APRIS. Pada tanggal 30 Maret 1950, ia bersama-sama dengan pasukan KNIL dibawah komandonya menggabungkan diri ke dalam APRIS di hadapan Letnan Kolonel Ahmad Junus Mokoginta, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur.

Pemberontakan ini dilatarbelakangi oleh adanya kekacauan di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Hal ini disebabkan seringnya terjadi demonstrasi kelompok masyarakat yang antifederal untuk mendesak NIT segera menggabungkan dengan RI. Sebaliknya, golongan yang mendukung negara federal juga melakukan demostrasi, sehingga keadaan menjadi tegang. Untuk menjaga keamanan pada tanggal 5 April 1950 pemerintah mengirim satu batalion TNI yang dipimpin oleh Mayor H.V.W orang. Kedatangan pasukan dari Jawa itu mengancam kedudukan kelompok masyarakat pro federal. Selanjutnya, mereka bergabung dan membentuk “Pasukan Bebas” di bawah pimpinan Kapten Andi Azis. Ia menganggap masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.

Pada hari sekitar pukul 05.00 tanggal 5 April 1950, Kapten Andi Azis bersama pasukannya menyerang Markas TNI di Makassar. Pertempuran pun terjadi. Namun, karena pasukan APRIS jumlahnya lebih sedikit daripada jumlah pasukan penyerbu, maka dalam waktu singkat kota Makassar berhasil dikuasai oleh gerombolan penyerbu. Objek-objek vital seperti lapangan terbang, kantor telekomunikasi, dan pos-pos Polisi Militer berhasil mereka kuasai. Beberapa orang prajurit TNI menjadi korban, bahkan beberapa perwira termasuk Letnan Kolonel Ahmad Yunus Mokoginta berhasil ditawan.

Pada tanggal 5 April 1950 itu pula, Ir. P.D. Diapari mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri NIT karena tidak menyetujui tindakan Andi Azis. Pemerintahan kemudian dipegang oleh cabinet baru yang pro-RI di bawah pimpinan Ir. Putuhena. Selanjutnya pada tanggal 21 April 1950, Wali Negara NIT, Sukawati mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintah pusat bertindak tegas dalam menghadapi Pemberontakan Andi Azis ini. Pada tanggal 8 April 1950, pemerintah mengeluarkan instruksi bahwa dalam waktu 4 x 24 jam Andi Azis harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kepada pasukan yang terlibat pemberontakan diperintahkan untuk menyerahkan dan semua tawanan dilepaskan. Pada saat yang bersamaan dikirimkan pasukan untuk melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kolonel A.E.Kawilarang. Pada tanggal 15 April 1950 Andi Azis telah berangkat ke Jakarta setelah didesak oleh Presiden NIT Sukawati. Akan tetapi, Andi Azis terlambat melapor ke Jakarta sehingga ia ditangkap dan diadili, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Mayor H.V. Worang terus melakukan pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 21 April 1950 pasukan ini berhasil menduduki Makassar tanpa perlawanan berarti dari pasukan pemberontak.

E. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)

Cobaan terakhir yang dihadapi oleh Pemerintah RIS dan berlanjut sampai dengan Pemerintahan RI adalah sebuah gerakan “separatis” yang tidak hanya bertujuan untuk memisahkan diri dari NIT melainkan juga bertujuan membentuk negara sendiri terpisah dari RIS. Pemberontakan ini dikenal sebagai pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipimpin oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil, mantan Jaksa Agung NIT. Sebenarnya Soumokil sudah terlibat dalam Pemberontakan Andi Azis. Namun, ia mampu melarikan diri ke Maluku. Soumukil juga berhasil memindahkan pasukan KNIL dan Pasukan Baret Hijau dari Makassar ke Ambon.

Baik pemberontakan Westerling, Andi Azis maupun pemberontakan Soumokil memiliki kesamaa, yaitu ketidakpuasan mereka terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemberontakan-pemberontakan itu menggunakan unsur KNIL yang merasa status mereka tidak pasti setelah KMB. Keberhasilan APRIS menguasai keadaan pada saat itu semakin memperbesar semangat golongan pemuda dan kaum republiken untuk kembali ke NKRI. Namun, kondisi tersebut mengakibatkan tindakan-tindakan terror dan intimidasi terhadap golongan republiken yang menghendaki bergabung dengan NKRI, telah tampak sejak bulan Februari 1950. Pelaksanaan gerakan terror ini selain mendapat bantuan dari anggota polisi juga mendapatkan bantuan dari anggota KNIL yang merupakan bagian dari Korp Speciale Troepen yang dibentuk oleh Kapten Raymond Westerling di Batujajar dekat Bandung. Tindakan terror tersebut bahkan sampai pada pembunuhan. Salah satu korbannya adalah Ketua Persatuan Pemuda Indonesia Maluku.

Benih separatis ini pun muncul dari para birokrat pemerintah daerah. Pada tanggal 4 April 1950 di Ambon Ir. Manusama mengundang para rajapati (penguasa desa) untuk rapat di kantornya. Kepada para rajapati itu Ir. Manusama mengutarakan bahwa penggabungan wilayah Ambon ke NKRI mengandung bahaya. Selanjutnya, mereka menyetujui diadakannya rapat umum di kota Ambon. Rapat umum itu dilaksanakan pada tanggal 18 April 1950, untuk memperingatkan seluruh rakyat Ambon akan bahaya penggabungan wilayah Ambon ke NKRI.

Pada tanggal 20 April 1950, Pupella dari Pemuda Indonesia Maluku (PIM) mengajukan mosi tidak percaya dalam parlemen NIT. Mosi itu diterima dengan baik pada tanggal 25 April 1950, sehingga cabinet NIT meletakkan jabatannya. Sebagai perdana menteri berikutnya dipilih Ir. Putuhena dengan programnya pembubaran NIT dan menggabungkannya ke dalam wilayah NKRI.

F. Pemberontakan PPRI dan Permesta

Kabinet Ali Sastroamijoyo II harus menghadapi kesulitan karena adanya pergolakan di daerah-daerah. Hal itu disebabkan oleh adanya ketidakpuasan beberapa daerah di Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan dari pemerintah pusat. Ketidakpuasan ini didukung oleh beberapa panglima militer. Selanjutnya, mereka membentuk dewan-dewan militer daerah, diantaranya sebagai berikut.

1. Dewan banteng di Sumatra barat dipimpin oleh Kolonel Achmad Husein, Komandan Resimen infanteri 4 pada tanggal 20 Desember 1956,
2. Dewan Gajah di Medan dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I (TTI) pada tanggal 22 Desember 1956,
3. Dewan Garuda di Sumatra Selatan dipimpin oleh Letkol Barlian.
4. Dewan Manguni di Manado dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual, pada tanggal 18 Februari 1957.

Pembentukan Dewan Banteng dilaksanakan setelah berlangsungnya reuni ex-Divisi Banteng di kota Padang yang berlangsung dari tanggal 20 sampai 25 November 1956. Dalam rapat itu juga diputuskan bahwa usaha pembangunan daerah akan dilaksanakan dengan cara menggali otonomi seluas-luasnya dan dihapuskannya sistem sentralisasi. Pertemuan juga menyarankan diadakan penelitian mengenai penempatan pejabat-pejabat daerah, sehingga dapat dipilih tenaga-tenaga yang produktif bagi daerah. Dalam bidang pertahanan diusulkan agar dibentuk Komando Pertahanan Daerah. Selain itu, juga diusulkan agar ex-Divisi Banteng dijadikan suatu korp dalam Angkatan Darat.

Hasil pertemuan tersebut selanjutnya dilaporkan ke Jakarta oleh suatu delegasi yang terdiri atas Kolonel Dahlan Djambek, A. Halim, Dahlan Ibrahim, Sidi Bakaruddin, dan Ali Lubis. Pada tanggal 28 November 1956, delegasi ini berhasil menemui Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo. Selanjutnya, delegasi juga berhasil menemui Drs.Moh. Hatta dan Mr. A. G. Pringgodigdo.

G. Pemberontakan G-30-S/PKI 1965

1. PKI Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin

Alam demokrasi liberal yang berlangsung di Indonesia pada kurun waktu 1950-1959 memberikan kesempatan kepada PKI untuk mengadakan rehabilitasi, walaupun sebelumnya partai komusi itu telah melakukan pemberontakan. Sepulang dari pelariannya di Moskow sejak akhir pemberontakan PKI Madiun, sesepuh PKI D.N. Aidit kembali ke Indonesia dengan konsep baru yang dikenal dengan “Jalan Demokrasi Rakyat Bagi Indonesia”.

Setelah memperoleh kesempatan merehabilitas PKI dalam alam demokrasi liberal, langkah PKI selanjutnya adalah berusaha memperoleh kesempatan duduk dalam pemerintahan melalui aliansi dengan kekuatan-kekuatan politik yang penting. Ketika Kabinet Sukiman jatuh pada tanggal 23 Februari 1952 sebagai akibat persetujuan Mutual Security Act dengan Amerika yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Mr. Achmad Subarjo (Majelis Syura Muslimin Indonesia/ Masyumi), Comite Cental (CC) PKI mengeluarkan pernyataan politik yang pada hakikatnya menawarkan kepada PNI untuk membentuk kabinet tanpa Masyumi. Kenyataannya, orang-orang dari Masyumi tetap diikutsertakan duduk dalam kabinet baru yang dipimpin oleh Wilopo dari PNI. Sekalipun kecewa, PKI tetap memberikan dukungan komposisi cabinet baru itu dengan syarat partai-partai politik harus menghapuskan kecurigaan dan sikap anti terhadap PKI beserta organisasi-organisasi massanya. Upaya PKI berhasil dan sejumlah pimpinan PNI mulai berkolaborasi dengan PKI. Salah satu puncak kerja sama itu adalah usaha menjatuhkan Kabinet Wilopo, meskipun cabinet itu dipimpin oleh tokoh PNI sendiri. Penyebab jatuhnya Kabinet Wilopo adalah Peristiwa Tanjung Morawa di Sumatra Utara, yaitu insiden antara polisi dan penyerobot tanah perkebunan milik negara yang didukung oleh PKI. Peristiwa ini merukap kesempatan bagi PNI dan PKI untuk merongrong Gubernur Sumatra Utara Abdul Hakim dan Menteri Dalam Negeri Mr. Moh. Roem yang keduanya berasal dari Masyumi.

2. Aksi-Aksi PKI sebelum Pemberontakan G-30-S/PKI

Setelah penyusupan kader-kader PKI kedalam tubuh aparatur negara termasuk ABRI, organisasi politik, dan organisasi kemasyarakatan dinilai berhasil, maka PKI mulai melaksanakan kegiatan yang disebutnya sebagai tahap ofensif revolusioner. Kegiatan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut.

a. Sabotase
b. Aksi Massa dan Aksi Sepihak
c. Teror
d. Perusakan
e. Agitasi dan Propaganda
f. Isu

3. Kronologi Pemberontakan G-30-S/PKI

a. Pemberontakan G-30-S/PKI

Isu “Dewan Jenderal” akan mengadakan perebutan kekuasaan dari Presiden Soekarno semakin menguat. PKI menganggap perlu ada gerakan militer untuk mendahului rencana “Dewan Jenderal” tersebut. Dalam situasi sakitnya Presiden Soekarno, D. N. Aidit melakukan evaluasi. Menurutnya, pertentangan fisik tidak akan dapat dicegah apabila kepemimpinan Presiden Soekarno tidak ada lagi atau apabila kepemimpinan itu menjadi tidak efektif. Dalam situasi seperti itu, TNI AD-lah yang mempunyai kemampuan untuk menggulung PKI. Sebelum hal itu terjadi, PKI harus melaksanakan langkah-langkah agar TNI AD dapat dilumpuhkannya. Langkah-langkah yang ditempuh PKI adalah sebagai berikut.

1. Persiapan

Pelatihan Kemiliteran OKI pada bulan Juli-September 1965 berlangsung di Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta. Mereka yang dilatih adalah para kader dan ormas PKI seperti Serikat Buruh Angkatan Udara, Barisan Tani Indonesia, Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, Pemuda rakyat, Universitas Republika, Serikat Buruh Kereta Api, SB Postel, SOBSI, Partindo, Buruh/Tani nonpartai, dan mereka yang bersimpati kepada PKI. Mereka yang berasl dari berbagai daerah tidak diasramakan, tetapi tinggal di kemah-kemah dan di rumah-rumah rakyat di sekitar tempat pelatihan itu.

2. Aksi

Setelah langkah persiapan dinilai cukup, PKI mulai bergerak sesuai tanggal yang diputuskan. Pada dinihari 1 Okotober 1965 PKI melakukan aksi penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap “Dewan jenderal”. Dalam penculikan itu, A.H. Nasution selamat, namun putrinya Ade Irma Suryani dan ajudannya yang bernama Piere Tendean menjadi korban. Para korban penculikan yang masih hidup maupun yang telah meninggal dibawa ke Lubang Buaya. Korban yang masih hidup adalah Piere Tendean (ajudan A.H. Nasution), Soeprapto, S.Parman, dan Sutojo S. sedangkan korban yang sudah dalam keadaan meninggal adalah A. Yani, D.I. Pandjaitan, dan Haryono M. T. Keempat korban yang masih hidup mendapat siksaan dan akhirnya meninggal. Selanjutnya, para sukwan PKI melemparkan seluruh korban kedalam sumur.

b. Penumpasan Pemberontakan G-30-S/PKI

Setelah memperoleh gambaran jelas dan keyakinan bahwa Gerakan 30 September 1965 adalah gerakan PKI, Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto segera menyusun rencana untuk menumpas gerakan Pengkhianatan tersebut. Pangkostrad segera mengkonsolidasikan dan menggerakkan personil Markas Kostrad dan satuan-satuan lain. Selain itu, juga dilakukan usaha untuk menarik dan menyadarkan kesatuan-kesatuan yang telah dipengaruhi dan digunakan oleh Gerakan 30 September. Langkah koordinasi dan konsolidasi berhasil.

4. Dampak Sosial-Politik Pemberontakan G-30-S/PKI dan Peralihan Kekuasaan

Penyelesaian aspek politik terhadap para pelaku G-30-S/PKI sebagaimana diputuskan dalam siding Kabinet Dwikoran 6 Oktober 1965, belum terlihat adanya tanda-tanda dilaksanakan. Berbagai aksi digelar untuk menuntut pemerintah agar segera menyelesaikan masalah tersebut dengan seadil-adilnya. Aksi dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemudi mahasiswa dan pelajar seperti KAPPI, KAMI, KAPI. Muncul pula aksiyang dilakukan oleh KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia), KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia). Pada tanggal 26 Oktober 1965, kesatuan aksi itu membulatkan barisan mereka dalam satu front yaitu Front Pancasila.

Sumber : Yudhistira

Mohon maaf apabila banyak kesalahan dalam tulisan tersebut, terimakasih.